CERPEN AKU

KU BENCI MENIKAH
N.Budy

Rinai hujan masih terus membasahi senja, rona jingga tak terlihat,
yang ada hanya kelam. Sekelam hatiku yang mendung, yang sebentar lagi
akan menumpahkan air yang amat deras. Isak tangisku seperti halilitar
yang menjerit seperti kilatan cemeti malaikat. Hatiku tercabik-cabik.
Senja ini, kelam sekelam cintaku dan masa depanku.

Baru saja aku bertemu detik itu juga kau harus belalu. Mengapa secepat
kilat jua kau pergi, sayang?.

Kau bilang, cukup!. Ditengah deras hujan tadi siang. Lalu kau menagis,
dan memaki serta menghinaku. Aku tetap diam, tak masalah bagiku.
Penghinaanmu hanyalah ungkapan kesalmu terhadapku yang tak dapat
berbuat apa-apa ketika orang tuamu menayakan tentang kepastianku untuk
menikahimu.

Aku sadar ketika kau berlalu, bahwa cinta tanpa pernikahan ibarat
perahu berlayar tanpa tepi. Terombang-ambing di tengah samudra luas
dan selalu berhadapan dengan badai-badai dosa yang tanpa bosan
melanda. Aku tahu kau takut, aku juga takut kita tenggelam dalam
samudra gelap yang tak berdasar. Namun, tahukah kau sayang? Menikah
bukan mainan?. Menikah butuh kesiapan lahir dan batin. Apa yang aku
dapat berikan padamu, aku hanya punya cinta, sudah.!, tak ada lagi
selain itu. Bukankah kita tidak makan cinta?.

Katamu dasar hidup adalah cinta, sebab cinta akan mendatangkan
kebaikan-kebaikan yang lainnya. Aku setuju dengan pendapatmu itu. Tapi
ini masalah kelangsungan hidup. Aku ingin kita menikah cukup sekali
seumur hidup.

Kau tetap memaksa dan aku tetap belum bisa. Entah, namun aku juga
sadar sewindu bukan waktu yang sebentar untuk menjalin sebuah rasa
yang kuanggap sama denganmu. Rasa cinta dan kebersamaan. Rasa yang
dapat membuat aku menjadi sempurna sebagai seorang laki-laki. Yang aku
herankan hanya satu, mengapa aku tak pernah siap untuk menikah?.
Ditengah rinai senja ini, aku menatapmu. Kau terisak menagis menyesali
sewindu kebersamaan kita. Sewindu kasih dan cinta kita terjalin. Hanya
karena satu permintaanmu yang tak dapat aku berikan, semua itu menjadi
puing-puing yang tak akan lagi utuh. Titik-titik lembut hujan tak
menghambat perdebatan kita. Perdebatan yang selalu berujung dengan
tangismu disertai guntur yang menggelegar.

Badanmu terguncang karena tangis yang begitu mengiris. Aku pegang
pundakmu dan kau tertunduk masih dengan derai air mata dan hujan
menyertai. Aku tak dapat ucapkan apa-apa. Aku hanya menggigit bibirku.
Sewindu ini, kita jalin cinta dengan jarak yang jauh. Kau berharap aku
berpikir untuk serius dalam sebuah hubungan yang lebih baik. Hubungan
yang menurutmu akan membuahkan hasil, hubungan yang dapat membawa kita
dalam sebuah tujuan-tujuan mulia. Kau berharap aku dapat mejadi ayah
dari anak-anakmu.

Setiap kau menemui aku, selalu bersama rinai hujan, bersama guntur dan
bersama isak tangis. Aku juga berharap pikiranku berubah, namun selalu
saja bayangan kelam yang terjadi pada keluargaku menjadi patokan dalam
hidupku. Aku terlahir dari hubungan tanpa setatus. Papa dan Mama tak
pernah menjalin sebuah pernikahan. Kata mereka menikah cukup dalam
hati. Walau akhirnya, aku menjadi anak zina. Anak yang terlahir tidak
sah. Mereka tetap bertanggung jawab membesarkan dan menyekolahkanku.
Sampai ketika prahara datang, karena Papa menikahi wanita lain dan
Mama merasa dihianati. Aku terlempar jauh dan harus tinggal di panti
asuhan.

Semua itu, menjadikan aku mempuyai pilihan yang menyesatkan. Benciku
pada Papa belum juga hilang. Dan kebodohan mama teramat sangat. Karena
mereka aku jadi takut menikah. Sewindu, ini telah aku coba lunakan
kebencianku terhadap pernikahan. Namun aku gagal. Bayangan masa lalu
itu tetap membekas. Mungkin karena aku terlahir dari kegilaan dan
kesesatan kedua orang tuaku.

Senja masih basah. Kau dan aku masih terdiam. Ditengah hamparan rumput
hijau sebuah taman kota. Badan kita semakin mengecil dan memucat.
Bibirmu semakin membiru, dan kelopak matamu semakin membengkak. Kita
seperti dua burung merpati yang meratap kedinginan, mengharap atap
untuk berteduh namun hanya hamparan rumput tanpa ada pohon rindang.
Kau sudah mendapatkan cintaku, setulus tulusnya. Kau hanya meminta
agar aku punya hak untuk dirimu.

Menikah memang sebuah kewajiban, yang di perintahkan olehNya untuk
umat manusia. Dan aku semakin jauh dariNya, karena aku menolak
perintah itu. Senja yang basah. Kita menangis bersama, dalam naungan
hujan dan getaran gemuruh guntur yang menggelegar. Kita masih sepakat
untuk tetap mencinta walau kau akan berlalu kembali meninggalkan aku.
“I can’t to forget you, because I think loves be not sin. Loves is
godsend. Don’t befool your heart. Because I think you can’t to be”.
Itu pesan terakhirmu, sebelum kau benar-benar berlalu bersama petir
yang mengelegar dan menyambar tubuhmu lalu membantingnya, lalu tubuhmu
pun terbakar. Kau tinggalkan aku di sini tanpa janji lagi, kau hanya
berpesan “bahwa cinta bukan dosa. Dan jangan bohongi hatimu, karena
kau tak akan dapat merasakan cinta tanpa menikah”.

Senja yang basah, sekelabu hatiku. Kepergianmu, setelah penantian
sewindu. Aku bersalah, aku selalu takut untuk menikah. Akhirnya Tuhan
memanggilmu karena setiamu menunggu kepastianku. Kau meninggalkan aku
di sini bersama kepingan-kepingan sesal yang teramat sangat. Kau gadis
yang setia, aku laki-laki pecundang.

Senja yang basah, saksi cintamu yang bersih. Aku menangis, bersama
hancurnya impian-impianmu bersamaku. Aku mengerti, bahwa cinta butuh
pengakuan yang suci.

Palapa, Desember 2009

Komentar

Postingan Populer