JEJAK KOTOR
Pintu gerbang
besar terbuka, seorang laki-laki keluar dari dalamnya. Dengan rangsel kecil
dipunggungnya. Ia melangkah menyusuri
jalan yang sepi. Pandangannya tak berhenti melihat ke kanan dan ke kiri, “banyak perubahan” gumamnya. Wajahnya yang
dulu bersih putih sekarang menjadi kusam dan gersang, matanya yang tadinya
teduh sekarang garang menantang, rambutnya yang ikal dulu tercukur rapi,
sekarang dibiarkan terurai panjang tak beraturan, kumis, jambang dan jenggot
memanjang tak dihiraukan.
Ia
hembuskan nafas lega dan terus menyusuri jalan keluar menuju jalan raya. Surat ditangannya dipegang
erat. Harapan satu-satunya hanya keluarga yang telah ditinggalkan selama
sepuluh tahun, dan ia berharap mereka masih setia menunggunya.
Ia
hentikan langkahnya tepat dipinggir jalan raya. Berbekal surat bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (LP).
Sebuah bus melintas dan berhenti tak jauh dari ia berdiri. Kondektur paham
siapa yang menjadi penumpangnya. Surat
bebas itu mengahantarkan ia pulang.
Matahari
belum tinggi ketika ia sampai di depan gerbang rumah megah. Ia berdiri,
mengamati sekelilingnya, suasana rumah sepi. Ia beranikan diri untuk memencet
bel yang ada di depan gerbang. Seorang wanita muda keluar.
“Cari
siapa pak?” Tanya wanita muda itu, yang diketahui adalah seorang pembantu. Ia
diam sesaat rasa heran menggelitik hatinya.
“Ibu
Ida ada?” Jawabnya kembali bertanya.
“Ibu
Ida?, Bapak salah alamat” Lanjut pembantu itu.
“Tidak
mungkin. Ini rumah saya, dan Ida adalah istri saya!” Dia belum percaya.
“Ini
rumahnya ngkoh Liem, orang China ”
Jelas pembantu itu.
Mendadak
wajahnya pucat pasi, kringat yang membasahi wajahnya semakin deras. Matanya
memerah, hatinya bergelora, menahan marah atau entah apa. Mungkin ia rindu pada
istri dan anak-anaknya, atau mungkin ia cemburu kalau istrinya telah menikah
lagi. Perasaannya bergemuruh, bergetar, bercambur aduk antara rindu dan
cemburu. Tangannya bergetar memegang terali pintu gerbang. Pembantu itu hanya
terdiam memandangi pria aneh yang ada didepannya, pembantu itu buru-buru masuk
ke dalam ruamah, ia ditinggalkan begitu saja.
Tiba-tiba
saja kunang-kunang ramai dihadapannya. Ia terduduk sambil merintih perih terasa
didadanya. kemana ia harus mencari keluarganya yang telah pergi. Ia coba
mengingat sesuatu. “Orang tuanya” Ucapnya semangat.
Ia
lanjutkan langkahnya menyusuri trotoar yang panasnya semakin menyengat. Peluh
semakin deras, berkali-kali ia hapus peluh yang mengalir dengan lengan jaket
lusuh yang dikenakannya.
“Ya
ampun panasnya” Gumamnya, ia tak sadar ini baru di dunia belum di neraka. Ia
terus paksakan diri untuk menyusuri jalananan kota , suara knalpot dari mobil angkot
membisingkan telinga, belum lagi suara klakson ketika kemacetan terjadi
sepanjang jalan pasar yang kumuh, aroma sampah dan ikan busuk pengapkan udara.
Semua menutup hidung menghindari bau busuk yang menyengat.
Tepat
tengah hari, ia telah sampai di sebuah gang. Di ujung gang itu adalah rumah
mertuanya. Ia melangkah meyusuri gang dengan langkah cepat. Perasaannya tak
sabar ingin bertemu dengan keluarganya. Hampir saja langkahnya menabrak gerobak
tukang somay yang sedang menjajakan dagangannya, ia tak peduli ketika tukang
somay memandangnya dengan perasaan heran. Langkahnya terhenti tepat di depan
rumah yang sederhana dengan pintu gerbang besi yang sudah karatan.
Ia
pandangi sekeliling rumah, warna catnya masih seperti dulu tidak ada perubahan,
hijau adalah warna kesukaan istrinya. Taman
bunga dan kolam kecil di teras juga masih seperti dulu di sampingnya ada dua
buah kursi dan satu meja bulat, posisinya juga masih seperti yang dulu. Masih
seperti ketika pertama kali ia datang untuk berkunjung pada waktu malam minggu
dan duduk berdua di kursi itu sambil bercanda dengan pacarnya, Ida. Bayangan itu
membuat darahnya berdesir dan kelopak matanya seakan berat menahan air yang
hampir tumpah. Masa yang tak dapat dilupakan dan diulanginya lagi. Masa paling
romantis dan menyenangkan namun juga menyakitkan.
Lama
ia berdiri di depan gerbang itu. Air matanyapun keluar. Tiba-tiba dia
dikejutkan oleh suara klakson motor yang memintanya untuk minggir karena
motor akan masuk ke halaman rumah.
Karena
tak ada reaksi, pemuda itu turun dari motor. Lalu mendekati dirinya yang masih
berdiri di depan pintu gerbang.
“Maaf
bapak siapa ya, dan ada keperluan apa?” Tanya pemuda itu sopan.
Ia
tidak menjawab pertanyaan pemuda itu namun langsung saja ia menyebutkan nama
pemuda itu.
“Erwin ?“ Ucapnya.
Sambil mengulurkan tangannya. Pemuda itu heran sambil mengulurkan tangan juga,
mereka bersalaman. Pemuda itu menatap lekat wajah yang kusam itu, menerka siapa
sebenarnya laki-laki lusuh ini. Dan suara itu dikenalnya.
“
Oh..! Bajingan kamu ! Ngapain datang
ke sini. Pergi…! Mba Ida sudah pergi. Dia sudah bahagia dengan suaminya. Pergi
kamu…, jangan ganggu keluarga kami lagi. Awas kamu ya ! kalau sampai ganggu mba
ida lagi !” Ucap pemuda itu geram sambil mencengkram kerah jaket dan
mengarahkan kepalan tangan tepat di wajahnya yang tegang. Namun tak sempat
menyentuhnya.
Keributan
di luar rumah itu, terdengar oleh penghuni rumah. Seisi rumah keluar. Bapak
mertuanya, ibu mertuanya, kakak iparnya dan tiga keponakannya. Pemuda itu
adalah adik iparnya. Mereka berbaris membentuk pagar betis. Seperti pesakitan yang
berdiri di depan para hakim. Ia tertunduk.
“Moral
bejat ! mau apa kau kemari!” Bentak Bapak mertuanya. Sambil menudingkan
telunjuknya.
“Dasar
laki-laki nggak punya otak!” Sambut kakak iparnya.
“Kau
hancurkan anakku, kau sisksa dia, kau khianati dan kau sia-siakan cucuku. Dasar
laki-laki bajingan kau ini. Sudah pergi, kau bukan lagi menantu kami. Dan kami
tak sudi mempunyai menantu penjahat seperti kau. Dasar penipu !, pemeras !
pergi…!” Maki Ibu mertuanya. Ia tetap berdiri tak sepatah katapun ia sempat
keluarkan untuk sekedar membela diri. Semuanya seakan menjadi gelap.
Keluarga
mertuanya, merupakan keluarga yang disegani dan menjadi panutan masyarakat di
lingkunan itu, kebaikan dan kejujuran mereka tidak diragukan lagi. Bukan hanya
dilingkungan itu saja, namun di lingkungan lain juga. Karena mertuanya adalah
seorang camat yang bijaksana dan kehidupannya sederhana. Pengabdian yang tulus
pada masyarakat telah dibuktikannya. Kemudahan dalam mengurus surat-surat dapat
dirasakan warganya.
Kepercayaan
masyarakat begitu penuh pada mertuanya. Pada saat itu ia sebagai menantunya
yang aktif dalam organisasi politik memanfaatkan peluang itu untuk mendapatkan
suara dalam pencalonan menjadi anggota dewan legislative. Pemanfaatan itu
berhasil dan ia mendapat suara terbayak dari partainya. Masyarakat memilihnya
karena memandang mertuanya. Bukan memandangnya. Mertuanyapun bangga karena
menantunya dapat menjadi wakil untuk rakyatnya.
Namun,
kesempatan tidak dapat ia jalankan dengan baik. Ia tak lulus ujian moral. Mukin
ketika SD ia tidak lulus juga pelajaran PMP (Penidikan Moral Pancasila). Dan
masyarakat merasa ditipu dan dikhianati. Mereka mengumpat habis mertuanya,
cacian rakyat sangat menyakitkan hati mertuanya hingga mertuanya harus
dilarikan kerumah sakit terkena serangan jantung. Dan aib itu masih membekas di
hati mertuanya.
Sebelum
dirinya di penjara, merekapun sudah marah. Muak melihat kesombongannya.
Kekayaan tidak membuat bahagia istri dan anak-anaknya justru menjadi tangis dan
malu seluruh keluarganya. Orang tua kandungnya telah membuangnya lebih dulu
sebelum ia masuk penjara. Sebagai mantan pejuang, orang tuanya berprinsip keras
lebih baik membuang anaknya dari pada menjual negaranya.
Mulai kasus vidio mesum dan perselingkuhan
hingga kasus korupsi, sangat memukul perasaan dan menjadi aib bagi keluarga
yang selama ini menjadi panutan rakyat dan rasa kecewa serta sesal sangat
dirasakan oleh masyarakat yang telah memilihnya.
Ia
terdiam. Teringat masa itu, sebuah masa yang sangat menakutkan. Ia tak tahan
dengan gemuruh didadanya lalu berlari meninggalkan barisan hakim yang serempak
meludahinya. Ingin sekali ia menjerit. Ia tinggalkan gang kecil itu dengan rasa
yang malu dan berdosa.
Seakan tanpa arah ia melangkah, berkali-kali
ia medesah. Ia berharap masih ada orang yang dapat membantunya. Namun siapa ?. Ia
berhenti tepat di bawah pohon asem yang rindang di tepi jalan. Matanya
memandang kosong ke jalan raya, lalu lalintas kendaraan tak dihiraukan.
Pikiriannya melayang, kesebuah masa dimana ia pernah hidup seakan disurga.
“Inikah
hidupku?” Gumamnya dalam hati.
Kelam, gelap dan
hampa seakan dunia. Ia mulai tersenyum sendiri saat bayangan indah masa lalu
datang, lalu menangis ketika tersadar sekarang ia terbuang. Mobil mewah yang
selalu dikendarai berubah menjadi tapak kaki yang kini melepuh tersengat oleh
panasnya aspal tengah hari.
Sekarang ia
seumpama seonggok sampah yang tak ada artinya. Kerdilnya moral telah hancurkan
masa depan yang seharusnya indah bersama anak dan istrinya. Kehilafan yang
seakan tak berampun.
Sebatang
rumput terselip dikedua bibir yang kering. Matanya masih basah. Geram ia
rasakan menyesali diri yang semakin jauh terbuang. Tak ada lagi yang percaya padanya,
lalu kemana teman-teman sejawat yang dulu selalu menyanjungnya. Mereka
menghilang ketika sadar kalau ia bukan hartawan dan pejabat lagi.
Semua
rakyat menanti untuk memaki. Anak, istri pergi dan kerabat menyumpahi serta
mengutuknya. Lalu kemana wanita simpanannya?. Wanita yang dulu sangat
dimanjakannya dengan harta curian milik negera. Wanitanya telah berlalu bersama
cukong yang menjamin kehidupannya.
Dunia
mulai muak dengannya. Ia harapkan udara segar diluar penjara, justru menjadi
panas dan gelisah membara seakan di atas tungku neraka. Hidupnya terapung bagai
kapas yang tertiup angin senja. Tak dapat hinggap dan menempel pada setiap
pucuk ilalang. Walau hanya sebentar.
“Laraku
terlalu penuh dalam hidup. Sekarang hanya penantian sebuah petaka yang aku
tunggu. Disetiap detik, jantungku bergetar dan aku selalu berpaling dari
jalanNya. Ini sebuah dosa.” Bisik hatinya.
Berlahan
menetes butiran bening dari matanya. Kekacauan yang ia buat sendiri dan
kehancuran teramat sangat dalam hati. Ia sandarkan tubuh lelah itu pada batang
pohon asem yang besar. Ia melihat sekelompok burung kecil bercanda diantasnya.
Ia ingat anak-anaknya.
Kehidupannya
semakin jauh berubah. Bukan kemajuan yang ia dapatkan dari bertambahnya usia.
Justru kemunduran yang drastis ia alami.
Sebulan
sudah ia terapung dijalanan. Dia merasa telah menjadi sampah sungguhan, sampah
masyarakat dan glandangan hampir setiap hari selalu dikejar-kejar oleh Trantip.
Kemanapun ia pergi bayangan hitam selalu dibelakangnya, menindih saat ia tidur,
menampar saat ia sendiri. Ia hanya bisa meratap.
Namun ratapannya hanya menjadi tempat orang-orang membuang ludah. Kemana
wibawanya selama ini. sepuluh tahun lalu semua orang menunduk hormat, sekarang
semua orang meludahinya.
Wajar jika Allah
menghukumnya sedemikan hebatnya. ketika ia menjadi pejabat, ratusan ribu rakyat
menjadi miskin karenanya. Ribuan orang harus menjadi penjahat karena kehilangan
pekerjaan dan anak-anak harus mati karena penyakit busung lapar.
Bulan berganti dan
tahun menyambut. Sekarang ia duduk di bawah jembatan penyebrangan, dengan baju
lusuh dan rambut gimbal merah. Kulitnya hitam kecoklatan. Sahabatnya adalah
debu jalanan. Ia tertawa, menangis sendiri. Moralnya telah hilang sejak lama.
Setelah keluar dari penjara, mentalnya pun ikut runtuh. Jiwanya sakit. Tak ada
yang memperdulikannya, seperti dirinya yang dulu tak pernah peduli dengan nasib
ribuan manusia.
Ternyata ia
termakan sumpah serapah rakyat dan doa mereka mujarap. Sebuah kutukan yang
makbul, terijabah oleh Tuhan. Dan itulah doa orang-orang yang teraniaya. Selalu
didengar dan dikabulkan Tuhan.
Tengah malam, ia
tak tahan dengan berat bayangan hitam yang menindihnya, dadanya sesak ia
menjerit histeris, tak ada yang peduli dan tak ada yang mendengar. Hanya suara
lintas mobil yang melaju cepat. Ia berlari menghindari bayangan hitam yang
selalu mengganggunya, ia terus berteriak “Ampun!” namun bayangan itu tetap
hadir, mencengkram rambutnya yang gimbal, meremas wajahnya yang lusuh lalu
melemparkannya ke tengah jalan raya dan disambut oleh tronton yang melaju
cepat. Dan tubuhnya tak lagi utuh.
Fajar menyingsing,
matahari muncul namun sinarnya masih terhalang oleh gedung-gedung tinggi yang
berbaris disepanjang jalan kota .
Jalan raya penuh sesak oleh ratusan orang yang mengelilingi tubuh yang tak lagi
utuh itu, mereka berebut ingin melihat bagaimana matinya seorang koruptor.
Penjahat rakyat. Lalu mereka meludah jijik dan membiarkan tubuh yang
terpisah-pisah itu teronggok bagai sampah dan mereka berharap nanti ada segerombolan
anjing liar yang kelaparan, lalu memakan habis dagingnya dan menyimpan
tulang-tulangnya dan di jadikan symbol peringatan bagi penjahat rakyat lainya
untuk berhenti menjadi panjahat dan tidak mengikuti jejaknya. Gambaran bagi
generasi selanjutnya untuk takut jika menjadi seorang koruptor karena akan sama
nasibnya seperti dia sengsara dunia dan akherat. */* Palapa, 21 April 2009
Komentar
Posting Komentar
ayo gabung kebloger gue