buku harian Parmin

P



armin duduk di depan tokonya. Barang-barang yang baru datang, diangkut oleh beberapa anak buahnya masuk ke dalam gudang. Sambil menghitung dan menge-cek, Parmin memastikan keadaan barang-barang pesanannya utuh dan baik. Sebagai pengusaha furniture dan prabot rumah tangga yang maju, Parmin sangat menjaga sekali kuwalitas barang dagangannya dan memperhatikan kesejahteraan anak buahnya. Rupanya ia tepati janjinya, dulu ketika dia masih menjadi pesuruh di sebuah kantor perusahaan besar. Apa yang pernah ia alami akan menjadi pedoman dalam hidupnya. Anak buahnya begitu senang mempunyai bos seperti Parmin. Dengan sikap Parmin yang pemurah dan ramah membuat anak buahnya bekerja dengan loyal dan bersungguh-sungguh serta tanggung jawab penuh dan semua itu berpengaruh juga dengan hasil kerja mereka. Usaha Parmin semakin berkembang.

Setelah merasa barang-barangnya baik Parmin melangkah masuk kedalam ruang kerjanya yang sekaligus sebagai tempat tinggalnya. Buku harian yang lama tak tersentuh diambil dari dalam lemari bajunya, sesaat ia memperhatikan sampulnya yang kusam. Lembar demi lembar dibukanya, sambil duduk di kursi kayu di depan mejanya. Ia terbayang kemasa lalu yang pahit namun indah. Parmin serius membaca kisahnya sendiri, terkadang bibirnya tersenyum, lalu sedih dan terharu.

Mei, 2004

Jalan hidup memang penuh dengan warna, terkadang putih, mendadak berubah menjadi hitam, begitu pula sebaliknya. Namun, kadang juga bisa berwarna-warni, seperti pelangi, indah dengan banyak warna.

Warna kehidupan tergantung bagaimana kita menghendakinya. Sebab semua berawal dari diri kita sendiri. Aku mungkin harus lebih sabar lagi, menghadapi seorang Bos yang hobinya marah-marah, meskipun aku sendiri tidak tahu apa salahku. Terkadang aku merasa tersinggung dengan ucapannya yang sangat menyakitkan hati.

“ He kacung!, sini kamu” Bentak Bosku.

” Iya Pak, ada apa?”Tanyaku sambil membunkukkan badanku.

”Ada apa!, lihat pakai matamu kertas-kertas berantakan seperti itu di mejaku. Rapihkan!”tanganya sambil menengulkan kepalaku, di depan orang ramai, aku hanya menunduk dan mengangguk, dalam hatiku terbesit sejuta luka, dan aku kembali dalam kebingungan,” apa sebenarnya yang salah, mengapa bos harus pakai acara maki-maki?, nyuruh ya nyuruh aja gak usah pakai cacian segala, Ya Allah kuatkanlah hati hamba” Ratap hatiku penuh dengan iba.

“ Kamu di sini hanya kacung !, bukan pejabat ?!. apa yang aku katakan kamu harus dengar dan kerjakan “ Ucapnya bengis. Aku ingin bertanya, apa sebenarnya kesalahanku, namun belum bibir ini terbuka ia sudah menghujani aku dengan makian dan cemoohan.

Sabtu, Mei ’04

Sebelum subuh, pada saat orang-orang masih terlelap dengan mimpinya, aku sudah bermandi keringat. Dari lantai tiga hingga lantai bawah sudah aku bersihkan, dan selesai jam 07 .00 pagi. Istirahatku hanya waktu sholat.

Menyapu, ngepel, hingga mengelap kaca jendela, setiap hari aku kerjakan. Gaji yang aku terima hanya cukup untuk biaya sekolah adikku, aku tidak pernah punya pendapatan lebih dari gaji pokokku. Dua tahun sudah aku jalani pekerjaan ini. Betapa nikmat dan senangnya aku melakukannya. Jika saja pekerjaanku dihargai, tidak usahlah dengan digaji besar. Jangan dimarah-marah saja aku sudah merasakan kebahagiaan tersendiri.

“ Inilah ladang ibadah buatku” Ucap hatiku pasrah, sambil mendorong kain pel dari kiri ke kanan, ke depan ke belakang. Sambil bernyanyi lirih menyebut asma Allah.

“ Allah Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, mengerti dari setiap ucapan dan langkah, mengetahui dari segala niat di hati “. Aku tidak boleh berlama-lama seperti ini. Setelah adikku lulus dan modalku cukup untuk membuka suatu usaha, aku jadikan pekerjaan ini sebagai tempatku menimba ilmu dari segala pengalaman yang aku alami. Aku akan akhiri pendidikan yang sangat menekan ini. Mudah-mudahan aku lulus menjadi orang yang sabar.

Berat memang aku rasakan, namun itu tidak aku jadikan beban, apapun bentuknya ucapan yang ditujukan padaku itu adalah ilmu. Sekarang tinggal aku yang berfikir positif saja, mungkin bos marah-marah padaku karena ia mempunyai masalah dengan relasinya, atau keluarganya atau hal-hal lain. Ya, namanya juga orang penting, wajar kalau punya masalah dimana-mana.

Tapi yang aku herankan mengapa harus aku yang menjadi luapan amarahnya?. Ehm!. Aku hanya tersenyum, “Alhamdullialah Ya Allah,” mungkin dengan dijadikannya aku tempat untuk melampiaskan amarahnya, dapat membuat pikiran dan hatinya tenang, walau hanya sesaat. Jika saja dia tahu, obat yang paling mujarab untuk mengobati kegelisahaan yang selalu melandanya itu, pasti ia tidak akan pernah lagi memarahi aku dan menjadikannya sebagai media untuk melepaskan segala unek-uneknya. Hanya kepada Allah seharusnya ia mengadukan segala masalahnya, karena Dia-lah sebaik-baiknya tempat untuk mengadu. Aku juga bisa tenang, senang walau dihina, dicaci dan dimaki itu karena pertolonganNya. Andainya kamu tahu Bos.! Kalau Allah itu Maha Penyayang dan Pengasih, lagi Maha pemberi pentunjuk.

Sambil berdendang ria dengan pekerjaanku, azan subuh berkumandang. Aku buru-buru mandi dan melaksanakan kewajibanku yang utama “ Sholat Subuh”.

Aku tidak pernah menyesali nasibku dan aku tidak pernah membenci pekerjaanku, walau menjadi pesuruh dan tukang sapu, bagiku inilah yang terbaik. yang diberikan Allah padaku. Apapun pekerjaan itu asal masih dijalanNya aku siap melakukannya.

Terkadang aku merasa iri, dengan orang-orang yang bekerja di kantoran, yang sukses dengan usahanya, karena pekerjaan yang mereka lakukan sangat diimpi-impikan oleh kebanyakan orang, salah satunya orang tuaku, mereka mengharapkan aku bekerja di kantoran yang punya koneksi dan gaji tinggi. Ya ! itu lumrah, keinginan dan cita-cita orang-orang, seperti orang tuaku yang selalu hidup dalam garis kemiskinan. Walau pendidikanku tidak juga rendah, tapi aku merasakan kenikmatan tersendiri walau pekerjaanku dianggap rendah oleh orang. Aku senang melakukannya.

Mengapa tingginya derajat dunia selalu di ukur dari materi dan jabatan, ya ?. apakah penampilan dan harta yang banyak dapat menjamin manusia itu bahagia?. Ah, itu tergantung dari manusianya dan apakah kemiskinan selalu merasa kesusahan ?, sekali lagi itu tergantung manusianya, cara bersyukurnyalah yang dapat menentukan menurutku.

Kemiskinan dan kekurangan memang aku rasakan tapi bukan berarti aku menyesali pada nasib. Kekurangan aku jadikan sebagai alasan untuk berjuang meraih yang lebih baik, dan kekurangan akan selalu ada pada setiap mahkluk. Kemiskinan aku jadikan cambuk untuk lebih memahami dan menghargai hidup.

Senin, Mei ’04

Jam dinding menjukan Pukul 03.45 menit, hanya beberapa suara ayam berkokok, aku terbangun, aku melihat bulan penuh, bersinar di ujung barat, cerah langit malam ini, bintang bersinar meredup. Aku menatap bulan penuh dengan kebanggaan “Betapa besar Ya Allah KuasaMu”aku tersenyum sambil melangkah menahan kantuk, hatiku berdesir saat aku tatap bulan itu seakan tersenyum melihatku. Lima ekor kalong lewat bersama-sama, seakan menuju arah sinar sang rembulan, mereka hendak pulang, setelah hampir semalaman mereka mencari buah-buahan sebagai nafkahnya. Walau bukan musim buah-buahan namun kalong tetap saja menemukan makanan, oh inilah keadilan dan kasih sayang Allah. Aku duduk sesaat merenungi betapa besar Kasih sayang Allah untuk mahlukNya. Siang tadi aku merasa putus asa, aku takut tidak mendapatkan pekerjaan lagi, kalau aku dipecat nanti. Ucapan bosku kali ini memang susah untuk aku terima, aku memang orang kecil, tapi apakah aku tidak boleh bermimpi menjadi orang besar,? walau hanya mimpi.??!

Siang tadi Aku mengajukan permohonan kasbon untuk biaya adikku yang akan ujian seminggu lagi. Gajiku hanya cukup melunasi uang bulananya saja sedangkan uang ujiannya sama besar jumlahnya dengan gajiku bekerja sebulan di sini. Baru dua hari aku gajian, sekarang sudah habis untuk membayar hutang diwarung makan dan biaya sekolah, pikiranku kalut kemana aku harus berhutang. Akhiranya aku nekat untuk meminjam uang pada bendahara.

“ Aduh Min, aku tidak bisa memberikan pinjaman, kalau tidak ada surat persetujuan dari Bos.” Ucap wanita itu.

“ Jadi aku harus menghadap Bos dulu ?, baru biasa mendapat pinjaman itu, aduh Mbak, aku takut, pasti nanti aku di maki-maki Bos, Mbak tahu kan Bos itu bagaimana?”. Kata ku bingung

“ Iya Min, aku tahu dan semua tahu, kalau beliau itu orangnya galak, sombong, pelit dan segala sesuatunya harus teliti, detail serta mempunyai alasan-alasan yang tepat.”

“ Bisa nggak ya Mbak, aku dapat uang hari ini, soalnya adikku mau ujian, ini sangat terpaksa Mbak, aku harus berhutang, soalnya tidak ada lagi tempat aku meminjam” Ucapku lirih. Bendahara itu hanya menghela nafas.

“ Maaf ya Min, aku tidak bisa membantu kamu, aku sendiri juga banyak kebutuhan”.

“ Tidak apa-apa Mbak, kalau begitu aku harus temui bos sekarang, nanti keburu dia pergi, terima kasih ya Mbak,” . Sambil berlalu dari ruangan yang ber AC namun panas itu, aku menuju keruangan bosku. Kebetulan dia ada di dalam dan sedang tidak ada tamu, pelan aku ketuk, lalu ku dorong pintunya, terlihat pria tua botak, gendut melihatku heran. Tidak ada senyum dibibirnya, biasanya jika ada tamu yang datang dia selalu ramah dan menyambutnya dengan pujian dan jilatan kata yang manis madu, tapi terhadapku seakan melihat sampah yang menjijikan, tidak terdengar ucapan apapun, silahkan duduk kek, atau tanya ada perlu apa gitu. Apa mentang-mentang aku ini kacung sehingga tidak ada harganya sama sekali. Aku tersenyum sambil merundukan badanku.

“ Maaf Pak, mengganggu sebentar, “ .

“ Iya .! ada apa!?”. Belum-belum ucapanya sudah membentak keras aku jadi sedikit gemetaran.

“ Begini Pak, saya ada keperluan, adik saya mau ujian, dan biayanya masih kurang, .....” Belum selesai aku mengutarakan maksudku ia sudah berdiri dan mendekati aku dengan mata yang tajam melotot.

“ He.., Min! kamu anggap aku ini bapakmu apa..!, kalau tidak punya biaya jangan sok menyekolahkan segala. Kalau tidak mampu jangan sok kaya, he,..! dengar ya, aku menggaji kamu bukan untuk sekolah adikmu, kalau urusan lain itu urusan mu bukan urusanku ngerti !”. Begitu pedih ucapan itu, aku hanya menunduk dan mengutuk dalam hati

“ Iya pak tapi saya benar-benar membutuhkannya,tolong saya Pak,...?!, saya tidak tahu lagi pinjam kemana, biarlah bulan depan saya tidak digaji, yang penting adik saya bisa ikut ujian?!”. Aku mengiba, kata-kataku sedikit dipikirkannya, terlihat dari kerut di keningnya.

“ Baik !, akan aku buatkan surat bonnya dan bulan depan kamu tidak mendapatkan gaji.” Aku mengangguk cepat, rasa senang dan bahagia begitu aku rasakan, walau bulan depan entah aku akan makan apa, yang penting adikku bisa mengikuti ujian.

Buru-buru aku keluar menuju ruang bendahara, sambil membawa selembar surat dari bosku.

Tiga lembar uang ratusan ribu aku selipkan dalam saku celanaku.

“Akhirnya adikku bisa juga mengikuti ujian kelulusan,” Batinku puas. Rasa bahagia, bangga, sangat aku rasakan.

Juni ’04

Hari ini akhir bulan, aku benar-benar tidak diberi gaji oleh bosku. Bulan ini tenagaku terkuras penuh. Hutang di warung baru separuh aku bayar. “ Oh Tuhan, Ya..Allah beri hamabamu kesabaran yang tidak terbatas, agar hambamu terhindar dari perbuatan yang Engkau hinakan. “

Hari ini, aku harus berpuasa, karena tidak ada lagi uang yang tersisa, mau hutang di warung lagi, aku malu. Hutang ku bulan kemarin belum bisa aku bayar. Mungkin sebulan ini aku harus mencari cara untuk bisa mendapatkan dana seseran.

Ya Allah Murahkan RezkiMu, Sesungguhnya Engkau Maha Pemurah lagi Maha Kaya Raya.” Hatiku tidak henti-hentinya berdo’a. Hanya pasrah yang aku bisa perbuat.

Hari makin sepi aku rasa, yang terus menghibur hanya hinaan dan cacian. Dikerjakan tidak dikerjakan sama saja hasilnya, selalu saja dimarah. Aku mulai berfikir untuk pindah saja dari pekerjaan ini, aku yakin diluar sana masih banyak yang lebih baik

“ Kamu tidak pernah pecus bekerja, apa yang kamu kerjakan Min?!”’. Bentak bosku, di tengah-tengah orang ramai. Aku hanya tertunduk, tidak ada yang bisa aku ucapkan, suaranya terlalu keras, sangat menyakitkan.

“ He..! dengar ya , Min,! kamu seharusnya bersyukur bisa bekerja di sini, dari pada kamu, lontang lantung tidak karuan. Kamu seharusnya berterima kasih padaku, karena aku bisa kasih kamu kerjaan, coba kamu lihat diluar sana, banyak orang ngantri mencari pekerjaan. Sekarang aku mau tanya, darimana kamu dapatkan uang tambahan itu. Kamu maling ya, apa kamu jual alat-alat yang ada di kantor ini ha !. “. Apa yang hendak aku jawab. Ingin aku jelaskan padanya darimana aku mendapatkan uang tambahan itu. Uang itu aku dapat dari mereka yang menyuruhku memfoto cofy berkas atau menyuruhku membeli rokok diwarung, bahkan ada yang Cuma-cuama memberiku uang, karena mereka kasihan terhadapku. Aku tidak pernah meminta apalagi aku harus mencuri.” Ya Allah cobaan Mu begitu indah aku rasakan, aku semakin tunduk pada KebesaranMu Ya Allah. Lindungilah hamba Mu dari segala fitnahan ini”. Aku hanya bisa menghembuskan nafas berat, aku ingin sekali meninju mukanya yang bengis itu, ingin sekali aku meremas mukanya yang begitu menjijikan itu. Aku bersyukur dan berterima kasih bukan padanya, tapi pada Allah.

“ Min..! aku tidak mau melihat mukamu lagi di sini, mulai besok kamu sudah harus pergi dari sini, aku tidak mau mempunyai kacung seorang pencuri..!” Bentaknya sambil menunjuk wajah ku. Aku hanya tertunduk, ingin sekali aku menangis karena malu, ingin sekali aku menendang perut buncit itu, tapi apa gunanya.

Aku memang harus pergi dari tempat ini, cukup sudah bekal yang harus aku bawa untuk melangkah kedepan kearah yang lebih baik.

Memang tidak nyaman rasanya menjadi bawahan, selalu saja menjadi tempat pelampiasan amarah atasan. Mudah-mudahan jika aku diberi kepercayaan jadi pimpinan aku tidak akan semena-mena terhadap bawahan. Sakit hati ini, jika kita di maki, dimarah tanpa tahu sebab kesalahannya. Apalagi dihina dan difitnah di depan banyak orang.

Aku berlalu dari hadapan manusia itu, manusia yang bermuka iblis. Dengan berjuta sakit yang ku bawa, orang-orang memandangku penuh dengan keibaan. Bahkan ada yang menangis.

Aku bersyukur, akhirnya aku terlepas juga dari tempat yang aku rasa bagai dipenjara jaman Jepang. Walau tanpa pesangon, aku bersyukur, karena Allah telah menunjukan jalan yang terbaik untukku.

Berbekal penderitaan, hinaan, dan serba kekurangan aku jalani hidup ini penuh dengan kesabaran. Aku punya keyakinan, bahwa Allah Maha Adil, Pengasih dan Penyayang.

* * * * * *

Parmin menghela nafas, ditutup buku harian masa lalunya. Ia sandarkan tubuhnya di kursi kayu matanya berkaca, seakan ia melihat dirinya dimasa lalu, sedang di caci maki bos, sedang mengepel lantai, mengelap kaca, bahkan sedang sedih duduk ditepian jendela, merenung mencari jalan keluar untuk mendapatkan uang agar adiknya bisa terus sekolah.

* * * * * *

Komentar

Postingan Populer